PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOTRISME KONFLIK PERANG IRAK
Rencana perang Irak, yang dilancarkan meski mendapat tentangan dari seluruh dunia, telah dipersiapkan setidaknya puluhan tahun lalu oleh para ahli strategi Israel. Dalam upayanya mewujudkan strategi pelemahan atau pemecahbelahan negara-negara Arab Timur Tengah, Israel memasukkan Mesir, Syiria, Iran dan Saudi Arabia dalam daftar sasaran berikutnya.
Saat tulisan ini disusun, Amerika Serikat (AS) telah memulai penggempuran terhadap Irak. Meskipun kenyataannya kebanyakan negara di seluruh dunia, bahkan sebagian besar sekutu AS sendiri, menentangnya, pemerintahan AS bersikukuh untuk meneruskan rencana serangannya. Ketika kita melihat apa yang ada di balik sikap keras kepala AS ini, maka Israel-lah satu-satunya yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah dan penderitaan di Timur Tengah sejak awal abad kedua puluh. Kebijakan pemerintah Israel yang ditujukan untuk memecah-belah Irak memiliki akar sejarah yang panjang"
Rencana Israel Membagi Irak
Laporan berjudul "A Strategy for Israel in the Nineteen Eighties" (Strategi Israel di Tahun 1980-an), oleh majalah berbahasa Ibrani terbitan Departemen Informasi, Kivunim, bertujuan menjadikan seluruh kawasan Timur Tengah sebagai wilayah pemukiman Israel. Laporan tersebut, yang disusun oleh Oded Yinon - seorang wartawan Israel yang pernah dekat dengan kementrian luar negeri Israel - memaparkan skenario "pembagian Irak" sebagaimana berikut:
Irak, negeri kaya minyak yang menghadapi masalah perpecahan dalam negeri, dijamin bakal menjadi sasaran Israel. Mengakhiri riwayat Irak jauh lebih penting bagi kita ketimbang Syria" Sekali lagi, Irak pada intinya tidaklah berbeda dengan para tetangganya, meskipun sebagian besar penduduknya adalah penganut Syi'ah dan sebagian kecil Sunni yang menguasai pemerintahan. Enam puluh lima persen penduduknya tidak memiliki andil dalam politik di negara di mana sekelompok elit berjumlah 20 persen memegang kekuasaan. Selain itu terdapat minoritas Kurdi berjumlah besar di wilayah utara, dan jika bukan karena kekuatan rezim yang memerintah, angkatan bersenjatanya, dan pemasukannya dari minyak, masa depan Irak akan takkan berbeda dengan nasib Libanon di masa lalu" Dalam kasus Irak, pembagiannya menjadi sejumlah provinsi berdasarkan garis suku atau agama sebagaimana yang terjadi pada Syiria di masa kekhalifahan Utsmaniyyah adalah sesuatu yang mungkin. Jadi, tiga (atau lebih) negara kecil akan terbentuk di sekitar tiga kota utama: Basrah, Baghdad, dan Mosul; dan wilayah kaum Syi'ah di selatan akan terpisah dari wilayah kaum Sunni dan suku Kurdi di utara.
Kita hanya perlu sedikit mengingat kembali bagaimana skenario ini sebagiannya telah dilakukan pasca Perang Teluk 1991, di mana Irak secara efektif, kalau tidak secara resmi, dibagi menjadi tiga wilayah. Fakta bahwa rencana AS menduduki Irak, yang sedang dilakukan saat tulisan ini dibuat, dapat kembali mendorong terbaginya wilayah tersebut, merupakan sebuah ancaman nyata.
Peran Israel dalam Perang Teluk
Penerapan strategi Israel telah dilakukan sejak tahun 1990. Saddam Hussein menyerbu Kuwait dalam serangan mendadak pada tanggal 1 Agustus 1990, sehingga memunculkan krisis internasional. Israel menjadi pemimpin bagi kekuatan-kekuatan yang mendorong terjadinya krisis itu. Israel adalah pendukung tergigih sikap yang dianut AS menyusul serangan terhadap Kuwait. Kalangan Israel bahkan menganggap AS bersikap moderat, dan menginginkan adanya kebijakan yang lebih keras. Sedemikian jauhnya sehingga Presiden Israel, Chaim Herzog, menganjurkan agar AS menggunakan bom nuklir. Di sisi lain, lobi Israel di AS tengah berupaya untuk mendorong terjadinya serangan berskala luas atas Irak.
Seluruh keadaan ini mendorong terbentuknya pandangan di AS bahwa serangan terhadap Irak yang sedang dipertimbangkan, sesungguhnya dirancang demi kepentingan Israel. Komentator terkenal, Pat Buchanan, merangkum pandangan ini dalam kalimat " Hanya ada dua kelompok yang menabuh genderang perang di Timur Tengah - Kementrian Pertahanan Israel dan kelompok pendukungnya di Amerika Serikat." (http://www.infoplease.com/spot/patbuchanan1.html)
Israel juga telah memulai kampanye propaganda serius dalam masalah ini. Karena kampanye ini sebagian besar dilancarkan secara rahasia, maka Mossad pun terlibat pula. Mantan agen Mossad, Victor Ostrovsky, memberikan informasi penting mengenai hal ini. Menurutnya, Israel telah berkeinginan melancarkan peperangan bersama AS melawan Saddam jauh sebelum krisis Teluk. Bahkan Israel telah memulai melaksanakan rencana tersebut segera setelah berakhirnya perang Iran-Irak. Ostrovsky melaporkan bahwa departemen Perang Psikologi Mossad (LAP - LohAma Psicologit) melancarkan kampanye ampuh menggunakan teknik disinformasi. Kampanye ini ditujukan untuk menampilkan Saddam sebagai seorang diktator berdarah dan ancaman bagi perdamaian dunia. (Victor Ostrovsky, The Other Side of Deception, hlm. 252-254).
Agen Mossad Berbicara tentang Perang Teluk
Ostrovsky menjelaskan bagaimana Mossad menggunakan para agen atau simpatisan di berbagai belahan dunia dalam kampanye ini dan bagaimana, misalnya, Amnesty International atau "para penolong Yahudi sukarelawan (sayanim)" di konggres AS dikerahkan. Di antara cara yang digunakan dalam kampanye tersebut adalah rudal yang diluncurkan ke sasaran-sasaran penduduk sipil di Iran selama perang Iran-Irak. Sebagaimana dijelaskan Ostrovsky, penggunaan rudal-rudal ini oleh Mossad di kemudian hari sebagai sarana propaganda sungguh janggal, sebab rudal-rudal tersebut ternyata telah diarahkan ke sasarannya oleh Mossad, dengan bantuan informasi dari satelit AS. Setelah mendukung Saddam selama perangnya melawan Iran, Israel kini tengah berupaya menampilkannya sebagai seorang monster. Ostrovsky menulis:
Para petinggi Mossad mengetahui bahwa jika mereka dapat menjadikan Saddam terlihat sebagai sosok sangat jahat dan sebagai ancaman bagi pasokan minyak Teluk, yang hingga saat itu ia telah menjadi pelindung pasokan tersebut, maka Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya takkan membiarkan Saddam begitu saja, tapi akan membuat perhitungan yang akan menghancurkan angkatan bersenjata dan kekuatan persenjataanya, khususnya jika mereka sampai yakin bahwa ini hanyalah kesempatan terakhir mereka sebelum Saddam menggunakan senjata nuklir. (Victor Ostrovsky, The Other Side of Deception, hlm. 254)
Israel sangat bersikukuh dalam masalah ini, dan dalam kaitannya dengan Amerika Serikat, pada tanggal 4 Agustus 1990, Menteri Luar Negeri Israel, David Levy, mengeluarkan ancaman menggunakan bahasa diplomatis kepada William Brown, duta besar AS untuk Israel, dengan mengatakan bahwa Israel "menginginkan AS akan memenuhi semua tujuan-tujuan yang ditetapkan Israel untuk mereka sendiri di awal krisis teluk," dengan kata lain AS hendaknya menyerang Irak. Menurut Levy, jika AS tidak melakukannya, Israel akan melancarkannya sendiri. (Andrew and Leslie Cockburn, Dangerous Liaison, hlm. 356.)
Akan sangat menguntungkan bagi Israel jika AS terlibat perang tanpa keterlibatan apa pun di pihak Israel: dan inilah yang benar-benar terjadi.
Israel Memaksa AS Berperang
Akan tetapi, kalangan Israel terlibat secara aktif dalam perencanaan perang oleh AS. Sejumlah pejabat AS yang terlibat merancang Operation Desert Storm (Operasi Badai Gurun) menerima arahan taktis jitu dari kalangan Israel bahwa "cara terbaik melukai Saddam adalah dengan melancarkan serangan terhadap keluarganya."
Kampanye propaganda yang diilhami Mossad sebagaimana dilaporkan Ostrovsky membentuk dukungan publik yang diperlukan dalam Perang Teluk. Sekali lagi, para pembantu lokal Mossad-lah yang berperan menyulut api peperangan. Lembaga pelobi Hill and Knowlton, yang dikendalikan oleh Tom Lantos dari lobi Israel, mempersiapkan rancangan yang dramatis guna meyakinkan para anggota Konggres perihal perang melawan Saddam. Turan Yavuz, wartawan Turki terkenal, memaparkan kejadian tersebut:
9 Oktober 1990. Lembaga pelobi Hill and Knowlton mengadakan pertemuan di Konggress yang bertemakan "Kebiadaban Irak." Sejumlah "saksi mata" yang dihadirkan dalam acara itu oleh lembaga pelobi tersebut menyatakan bahwa tentara Irak membunuh bayi-bayi baru lahir di bangsal-bangsal rumah sakit. Seorang "saksi mata" memaparkan kekejaman itu dengan sangat rinci, dan mengatakan bahwa para prajurit Irak telah membunuh 300 bayi baru lahir di satu rumah sakit saja. Berita ini sungguh mengguncang para anggota Konggress tersebut. Ini menguntungkan bagi pihak Presiden Bush. Namun, belakangan diketahui bahwa saksi mata yang dihadirkan oleh lembaga pelobi Hill and Knowlton di hadapan Konggres ternyata adalah anak perempuan duta besar Kuwait untuk Washington. Kendatipun demikian, kisah yang dituturkan anak perempuan tersebut sudah cukup bagi para anggota Konggress untuk menjuluki Saddam sebagai "Hitler". (Turan Yavuz, ABD'nin Kürt Karti (The US' Kurdish Card), hlm. 307)
Hal ini mengarahkan pada satu kesimpulan saja: Israel berperan penting dalam kebijakan Amerika Serikat untuk melancarkan perang pertamanya terhadap Irak. Perang yang kedua tidaklah banyak berbeda.
Alih-Alih "Perang terhadap Terorisme"
Berlawanan dengan keyakinan masyarakat luas, rencana untuk menyerang Irak dan menggulingkan rezim Saddam Hussein dengan kekuatan senjata telah dipersiapkan dan dicanangkan dalam agenda Washington sejak lama sebelum dilancarkannya "perang mewalan terror," yang mengemuka pasca peristiwa 11 September. Isyarat pertama adanya rencana ini mengemuka pada tahun 1997. Sekelompok ahli strategi pro-Israel di Washington mulai memunculkan skenario penyerangan atas Irak dengan memanfaatkan lembaga think-tank "konservatif baru", yang dinamakan PNAC, Project for The New American Century (Proyek bagi Abad Amerika Baru).
Sebuah artikel berjudul "Invading Iraq Not a New Idea for Bush Clique: 4 Years Before 9/11 Plan Was Set" (Penyerangan atas Irak Bukan Gagasan Baru bagi Kelompok Bush) yang ditulis William Bruch dan diterbitkan di the Philadelphia Daily News, memaparkan fakta berikut:
Namun kenyataannya, Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, dan sekelompok kecil ideolog konservatif telah memulai wacana penyerangan Amerika atas Irak sejak 1997 – hampir empat tahun sebelum serangan 11 September dan tiga tahun sebelum Presiden Bush memegang pemerintahan.
Sekelompok pembuat kebijakan sayap kanan yang terdengar mengkhawatirkan, yang tidak begitu dikenal, yang disebut Proyek bagi Abad Amerika Baru, atau PNAC – yang berhubungan erat dengan Cheney, Rumsfeld, deputi tertinggi Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan saudara lelaki Bush, Jeb – bahkan mendesak presiden waktu itu, Clinton, untuk menyerbu Irak di bulan Januari 1998. (William Bunch, Philadelphia Daily News, 27 Jan. 2003)
Minyakkah yang Menjadi Tujuan Sebenarnya?
Mengapa para anggota PNAC sangat bersikukuh untuk menggulingkan Saddam? Artikel yang sama melanjutkan:
Meskipun minyak melatarbelakangi pernyataan kebijakan PNAC terhadap Irak, namun tampaknya ini bukanlah pendorong utama. [Ian] Lustick, [seorang profesor ilmu politik Universitas Pennsylvania dan ahli Timur Tengah,] yang juga pengecam kebijakan Bush, mengatakan bahwa minyak dipandang oleh para pendukung perang terutama sebagai cara untuk membayar operasi militer yang sangat mahal.
"Saya dari Texas, dan setiap orang perminyakan yang saya kenal menentang tindakan militer terhadap Irak," kata Schmitt dari PNAC. "Pasar minyak tidak perlu diganggu."
Lustick yakin bahwa dalang tersembunyi yang sangat berpengaruh kuat kemungkinan adalah Israel. Ia mengatakan para pendukung perang dalam pemerintahan Bush yakin bahwa parade pasukan di Irak akan memaksa Palestina menerima rancangan perdamaian yang menguntungkan Israel"(William Bunch, "Invading Iraq not a new idea for Bush clique" Philadelphia Daily News, 27 Jan. 2003)
Jadi, inilah dorongan utama di balik rencana untuk menyerang Irak: membantu strategi Israel di Timur Tengah.
Fakta ini juga ditengarai oleh sejumlah ahli Timur Tengah lainnya. Misalnya Cengiz Çandar, ahli Timur Tengah asal Turki, memaparkan kekuatan sesungguhnya di balik rencana penyerangan atas Irak sebagaimana berikut:
"Siapakah yang mengarahkan serangan atas Irak? Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Rumsfeld, Penasehat Keamanan Dalam Negeri Condoleeza Rice. Mereka inilah para pendukung "tingkat tinggi" terhadap penyerbuan tersebut. Akan tetapi, selebihnya dari gunung es tersebut sungguh lebih besar dan lebih menarik. Terdapat sejumlah "lobi."
Yang terdepan di barisan lobi ini adalah tim Jewish Institute for Security Affairs (Lembaga Yahudi untuk Masalah Keamanan) JINSA, yang merupakan kelompok kanan Israel pro-Likud yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan industri-industri senjata AS" Mereka memiliki hubungan erat dengan "lobi persenjataan," Lockheed, Northrop, General Dynamics dan industri militer Israel" Prinsip mendasar JINSA adalah bahwa keamanan AS dan Israel adalah tak terpisahkan. Dengan kata lalin, keduanya adalah sama.
Tujuan JINSA tidak terbatas pada merobohkan rezim Saddam di Irak, tetapi juga mendukung penggulingan rezim Saudi Arabia, Syria, Mesir dan Iran dengan logika "perang total", yang diikuti dengan "penegakan" demokrasi. …Dengan kata lalin, sejumlah Yahudi Amerika yang seirama dengan kelompok-kelompok paling ekstrim di Israel sekarang terdiri atas orang-orang yang mendukung perang di Washington. (Cengiz Çandar, "Iraq and the 'Friends of Turkey' American Hawks", Yeni Safak, 3 September 2002.)
Proyek Israel "Penguasaan Dunia secara Diam-Diam"
Singkatnya, terdapat kalangan di Washington yang mendorong terjadinya perang yang awalnya dilancarkan terhadap Irak, dan setelah itu terhadap Saudi Arabia, Syria, Iran dan Mesir. Ciri mereka paling kentara adalah mereka berbaris di samping, dan bahkan sama dengan, "lobi Israel."
Tak menjadi soal betapa sering mereka berbicara tentang "kepentingan Amerika," orang-orang ini sebenarnya mendukung kepentingan Israel. Strategi melancarkan peperangan terhadap seluruh Timur Tengah sehingga menjadikan seluruh rakyat di kawasan tersebut bangkit melawan AS tak mungkin akan menguntungkan pihak AS. Penggunaan strategi seperti ini hanya mungkin dapat dilakukan jika AS tunduk pada Israel, melalui lobi Israel, yang luar biasa berpengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri negara tersebut.
Dengan alasan ini, maka di belakang strategi yang mulai dijalankan pasca 11 September dan yang ditujukan untuk merubah peta seluruh dunia Islam, terdapat rencana rahasia Israel untuk "menguasai dunia." Sejak pendiriannya, Israel telah bercita-cita merubah peta Timur Tengah, menjadikannya mudah diatur sehingga tidak lagi menjadi ancaman baginya. Israel telah menggunakan pengaruhnya di AS untuk tujuan ini di tahun-tahun belakangan, dan memiliki andil besar dalam mengarahkan kebijakan Washington di Timur Tengah. Keadaan pasca 11 September memberi Israel kesempatan yang selama ini telah dicari-carinya. Para ideolog pro-Israel yang selama bertahun-tahun secara tidak benar telah menyatakan bahwa Islam sendirilah yang – dan bukan sejumlah kelompok radikal militan yang berbaju Islam – memunculkan ancaman terhadap Barat dan AS. Merekalah yang berusaha meyakinkan kebenaran gagasan keliru tentang "benturan antar peradaban," dan telah berupaya mempengaruhi AS agar memusuhi dunia Islam setelah peristiwa 11 September. Sudah sejak tahun 1995, Israel Shahak dari Universitas Hebrew, Jerusalem, menuliskan keinginan Perdana Menteri Rabin sebagai "gagasan perang melawan Islam yang dipimpin Israel." Nahum Barnea, penulis opini dari surat kabar Israel, Yediot Ahronot, menyatakan di tahun yang sama bahwa Israel tengah mengalami kemajuan "[untuk] menjadi pemimpin Barat dalam perang melawan musuh, yakni Islam." (Israel Shahak, "Downturn in Rabin's Popularity Has Several Causes", Washington Report on Middle East Affairs, Maret 1995.)
Semua yang telah terjadi di tahun-tahun berikutnya adalah bahwa Israel menjadikan niatannya semakin kentara. Iklim politik pasca 11 September memberikan peluang untuk mewujudkan niatan ini menjadi kenyataan. Dunia kini tengah menyaksikan tahap demi tahap menerapan kebijakan Israel dalam memecah-belah Irak, yang telah dirancang di Konggres Zionis Dunia pada tahun 1982.
Satu-Satunya Jalan Menuju Perdamaian Dunia: Persatuan Islam
Keadaan di atas dapat dirangkum sebagai berikut: Tujuan Israel adalah untuk menata ulang kawasan Timur Tengah menurut kepentingan strategisnya sendiri. Untuk mencapai hal ini, untuk menguasai Timur Tengah, wilayah paling mudah bergejolak di dunia, Israel memerlukan sebuah "kekuatan dunia." Kekuatan ini adalah Amerika Serikat; dan Israel, dengan kekuatan pengaruhnya terhadap AS, tengah berupaya menggadaikan kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah. Meskipun Israel adalah sebuah negara kecil berpenduduk 4,5 juta jiwa, rencana yang disusun Israel dan para pendukungnya di Barat mengendalikan keseluruhan dunia.
Apa yang perlu dilakukan menghadapi kenyataan ini?
1) Kegiatan melobi perlu dilakukan dalam rangka menandingi pengaruh lobi Israel di Amerika Serikat guna membangun dialog antara AS dan dunia Islam, dan untuk mengajaknya mencari cara damai dalam memecahkan permasalahan Irak dan permasalahan serupa lainnya. Banyak kalangan AS menginginkan negeri mereka mengambil kebijakan Timur Tengah yang lebih adil. Banyak negarawan, ahli strategi, wartawan dan cendekiawan telah mengungkapkan hal ini, dan gerakan "perdamaian antar peradaban" harus digulirkan dengan bekerjasama dengan kalangan tersebut.
2) Pendekatan yang mengajak pemerintah AS kepada pemecahan masalah secara damai haruslah dibawa ke tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil.
Bersamaan dengan ini semua, jalan keluar paling mendasar terletak pada sebuah proyek yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan antara dunia Islam dan Barat, dan dapat mengatasi perpecahan, penderitaan dan kemiskinan di dunia Islam dan sama sekali merubahnya, dan ini adalah Persatuan Islam.
Perkembangan terakhir telah menunjukkan bahwa seluruh dunia, tidak hanya wilayah-wilayah Islam, memerlukan sebuah "Persatuan Islam." Persatuan ini haruslah mampu meredam unsur-unsur radikal di Dunia Islam, dan membangun hubungan baik antar negara-negara Islam dan Barat, khususnya Amerika Serikat. Persatuan ini juga hendaknya membantu menemukan jalan keluar bagi induk dari seluruh permasalahan yang ada: perseteruan Arab-Israel. Hanya dengan penarikan diri Israel hingga batas wilayahnya sebelum tahun 1967, dan pengakuan bangsa Arab atas keberadaannya, akan ada perdamaian sesungguhnya di Timur Tengah. Dan umat Yahudi dan Muslim – yang keduanya keturunan Nabi Ibrahim dan beriman pada satu Tuhan saja – dapat hidup berdampingan di Tanah Suci, sebagaimana yang telah mereka tunjukkan di abad-abad yang lalu. Dengan demikian, Israel takkan lagi memerlukan strategi untuk mengganggu keamanan atau memecah-belah negara-negara Arab. Dan Israel takkan menghadapi balasan atas pendudukannya dalam bentuk kekerasan dan ketakutan terus-menerus terhadap upaya penghancuran terhadapnya. Lalu, keduanya, anak-anak Israel dan Irak (juga Palestina) dapat tumbuh dalam lingkungan yang damai dan aman. Inilah wilayah Timur Tengah yang seharusnya didambakan dan berusaha diwujudkan oleh setiap orang yang bijak.
TAMBAHAN Sumber : http://www.harunyahya.com/indo/artikel/028.htm
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
KURANGNYA PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.1. Latar Belakang
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memelihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan menimbulkan dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan dari pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai ’Tujuan’. Sedangkan dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan merupakan harapan dalam pelaksanaan kegitan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan.
Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut sebagai permasalahan Pendidikan. Istilah permasalahan pendidikan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata permasalahan berarti sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah segala-sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Permasalahan Pendidikan Indonesia adalah segala macam bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program pendidikan di negara Indonesia. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Dalam makalah ini akan saya bahas masalah pendidikan tentang “Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia”. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk menanganinya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dan diungkapkan dalam paper ini adalah :
1. Pengertian pemerataan pendidikan ?
2. Bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di
Indonesia?
4. Apakah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah telah berhasil ?
1.3 Batasan Masalah
Agar masalah yang dikemukakan terarah pada sasaran maka perlu pembatasan yaitu konsep pemerataan pendidikan dan kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia.
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui arti dari pengertian pemerataan pendidikan
b. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia.
c. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan
pemerataan pendidikan di Indonesia.
d. Untuk mengetahui bagaimana keberhasilan dari pemerintah dalam
melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan 2 metode yaitu :
a) Observasi, berdasarkan pengamatan baik dari media cetak maupun media elektronik
b) Kepustakaan, yaitu penggunaan bahan-bahan penulisan yang bersumber dari buku-buku referensi dan website-website di internet
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pemerataan Pendidikan
Pemerataan pendidikan telah mendapat perhatian sejak lama terutama di negara-negara berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan merupakan peran penting dalam pembangunan bangsa.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.
Menurut UUD 1945 pemerintah berkewajiban memenuhi hak warganegara dalam memperoleh pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Ini berati pemerintah harus bisa memberikan pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia bukan hanya untuk rakyat tertentu yang mampu sedangkan untuk rakyat yang kurang mampu tidak memperoleh pendidikan. Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena ia merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bias memenangi kompetisi global.
2.2 Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Saat ini kondisi pendidikan di Indonesia masih belum merata. Misalnya saja di kota-kota besar disana sarana dan prasarana pendidikan disana sudah sangat maju. Sedangkan di desa-desa hanya mengandalkan sarana dan prasarana seadanya. Bukan hanya masyarakat di desa saja yang masih tertinggal pendidikannya. Daerah-daerah di Indonesia timur bukan hanya sarana dan prasarana yang kurang tapi juga kurangnya tenaga pengajar sehingga sekolah-sekolah disana masih membutuhkan guru-guru dari daerah-daerah lain. Walaupun ada warganegara Indonesia yang tinggal di kota-kota besar tapi karena mereka termasuk ke dalam warganegara yang kurang mampu sehingga mereka tidak bisa merasakan pendidikan. Banyak anak-anak yang masih di bawah umur sudah bekerja untuk membantu orang tua mereka dalam mempertahankan hidupnya.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia. Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Di samping itu pada tahapan
selanjutnya pemberian program beasiswa (dimensi equality of survival) menjadi upaya yang cukup mendapat perhatian dengan mendorong keterlibatan masyarakat melalui Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Program beasiswa ini semakin intensif ketika terjadi krisis ekonomi, dan dewasa ini dengan Program BOS untuk Pendidikan dasar. Hal ini menunjukan bahwa pemerataan pendidikan menuntut pendanaan yang cukup besar tidak hanya berkaitan dengan penyediaan fasilitas tapi juga pemeliharaan siswa agar tetap bertahan mengikuti pendidikan di sekolah.
Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) mengamanatkan, antara lain:
1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti,
2) Meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, olah raga dan seni.
Ini Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya.
2.3 Upaya Pemerintah Dalam Melakukan Pemerataan Pendidikan
Seperti yang sudah dijelaskan tadi pemerintah sebenarnya sudah mengupayakan pemerataan pendidikan sejak tahun 1984. Seperti mulai dari pemerataan pendidikan sekolah dasar, selanjutnya diikuti dengan wajib belajar 9 tahun sejak 2 Mei tahun 1994. Wajib belajar 9 tahun direncanakan tuntas pada tahun 2008 tapi sampai tahun 2006 masih banyak rakyat Indonesia yang belum dapat menyelesaikan sekolah dasar.
Masih banyak lagi upaya-upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan salah satunya yaitu :
1. Pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP) tidak dipungut biaya. Ini diharapkan semua anak yang akan masuk SD dan SMP di seluruh Indonesia dapat bersekolah.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh sekolah dengan subsidi dari APBN.
3. Melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai.
4. Membangun sarana dan prasarana yang memadai termasuk sarana olahraga untuk setiap sekolah baik yang di perkotaan maupun pedesaan sesuai kebutuhanya.
5. Memberikan kepada siswa yang berprestasi dan/atau dari keluarga yang tidak mampu. Agar siswa dapat terus menuntut ilmu tanpa mempermasalahkan biaya pendidikan
6. Untuk di Perguruan Tinggi harus meningkatkan kapasitas tampung, terutama untuk bidang-bidang yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan teknologi, serta meningkatkan kualitas kehidupan.
7. Mendorong peningkatan peran swasta melalui perguruan tinggi swasta. Ini agar kalau ada mahasiswa yang tidak mendapat perguruan tinggi bisa melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi swasta, tentu saja dengan mutu dan kualitas perguruan tinggi swasta harus bisa sesuai standar pemerintah.
8. Menyebarkan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk mendukung pembangunan daerah serta memberi kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelenggarakan pembinaan perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi.
9. Menyebar lulusan guru-guru ke daerah-daerah yang masih minim tenaga pengajarnya. Agar tidak terjadi penumpukan lulusan guru di suatu daerah sehingga banyak lulusan guru yang bekerja di bukan keahliannya. Sedangkan di daerah lain masih kekurangan tenaga guru.
2.4 Tingkat Keberhasilan Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Dalam pemerataan pendidikan pemerintah telah berupaya mengatasinya namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tidak semuanya berhasil. Masih banyak upaya pemerintah yang kurang berhasil bahkan bisa juga disebut gagal dalam pelaksanaannya.
Upaya-upaya pemerintah yang masih kurang berhasil yaitu :
1) Upaya pemerintah dalam pendidikan tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai SMP (Sekolah Menengah Pertama) tidak di pungut biaya. Tapi di lapangan masih banyak sekolah-sekolah tersebut yang masih memungut biaya dalam pelaksanaan pendidikannya. Sekolah-sekolah tersebut beralasan kalau biaya tersebut untuk menggaji pegawai yang ada di sekolah tersebut dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya.
2) Upaya pemerintah meningkatkan dalam meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Tapi dalam pelaksanaanya masih banyak sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah kualitasnya masih kurang. Seperti tidak semua kelas memiliki layar proyektor yang bagus, masih banyaknya komputer-komputer di sekolah yang rusak, Alat-alat dan bahan-bahan laboratorium yang masih kurang sehingga praktikum yang dilakukan sisiwa masih sedikit bahkan tidak pernah sama sekali.
3) Upaya regrouping (penggabungan) masih belum dilaksanakan dengan maksimal, pelaksanaannya masih dalam tahap percobaan sehingga masih belum dilaksanakan dengan menyeluruh.
4) Upaya pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana di sekolah-sekolah masih belum maksimal ini terbukti masih banyak sekola-sekolah yang sarana dan prasarananya masih kurang lengkap bahkan masih banyak sekolah-sekolah yang bangunannya masih kurang layak untuk di gunakan.
5) Program beasiswa dari pemerintah masih banyak yang tidak tepat sasaran. Masih banyak siswa dan mahasiswa yang miskin dan berprestasi tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
6) Sekarang perguruan tinggi telah menambah kapasitas daya tampung agar banyak mahasiswa yang dapat kuliah. Tentu saja hal ini harus mahasiswa yang diterima harus berkualitas.
7) Banyak sekolah dan perguruan tinggi swasta yang kekurangan peserta didik karena banyak siswa dan mahasiswa baru yang lebih memilih sekolah dan perguruan tinggi negeri. Ini tentu saja akan merugikan sekolah dan perguruan tinggi swasta karena akan kekurangan peserta didik. Ini juga akibat komersialisasi pendidikan. Maksudnya sekolah dan perguruan tinggi negeri yang sudah elit terus dibuat semakin elit oleh pemerintah sehingga banyak orang tua yang berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dan perguruan tinggi negeri tersebut.
8) Dalam pembangunan perguruan tinggi negeri banyak terpusat di pulau Jawa sehingga banyak mahasiswa harus merantau jauh untuk mendapatkan pendidikan. Ini akan menyebabkan beban biaya orang tua mereka semakin berat. Pemerintah seharusnya memperbanyak membangun perguruan tinggi negeri di daerah-daerah agar mereka tidak perlu merantau jauh-jauh sehingga tidak terlalu membutuhkan banyak biaya.
9) Upaya pemerintah dalam menyebarluaskan tenaga-tenaga pendidik masih belum terlaksana dengan maksimal karena masih banyak lulusan-lulusan guru yang ada di suatu daerah yang masih menganggur atau mengerjakan pekerjaan lain di luar kemampuannya karena lowongan guru sudah penuh. Sedangkan di daerah lain masih banyak juga yang kekurangan guru. Sehingga transfer guru diperlukan dari yang banyak lulusannya ke yang masih sedikit tenaga gurunya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan di Indonesia memang masih kurang merata. Banyak daerah di Indonesia yang masih belum mendapat pendidikan yang memadai. Selain itu masyarakat Indonesia yang kurang mampu juga belum bisa mendapat pendidikan dengan mudah. Pendidikan hanya dirasakan oleh masyarakat yang mampu dan berada di kota-kota besar. Ini tentu saja bertentangan dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.
Memang sejak tahun 1984 pemeritah telah melakukan upaya-upaya agar pendidikan di Indonesia bisa dirasakan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan sejak tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun. Selain itu pemerintah juga telah melakukan upaya-upaya yang lain agar pendidikan di Indonesia bisa dirasakan oleh rakyat Indonesia. Upaya-upaya itu seperti :
1. Pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah pertama (SMP) tidak dipungut biaya.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh sekolah dengan subsidi dari APBN.
3. Melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah.
4. Membangun sarana dan prasarana yang memadai termasuk sarana olahraga untuk setiap sekolah baik yang di perkotaan maupun pedesaan sesuai kebutuhanya.
5. Memberikan kepada siswa yang berprestasi dan/atau dari keluarga yang tidak mampu.
6. Untuk di Perguruan Tinggi harus meningkatkan kapasitas tampung, terutama untuk bidang-bidang yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan teknologi, serta meningkatkan kualitas kehidupan.
7. Mendorong peningkatan peran swasta melalui perguruan tinggi swasta.
8. Menyebarkan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk mendukung pembangunan daerah serta memberi kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelenggarakan pembinaan perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi.
9. Menyebar lulusan guru-guru ke daerah-daerah yang masih minim tenaga pengajarnya.
Meskipun pemerintah telah berupaya keras agar pendidikan bisa merata dirasakan oleh semua penduduk Indonesia tapi upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah ternyata masih belum berhasil secara maksimal. Masih banyak kendala-kendala yang menyebabkan upaya-upaya pemerintah masih belum maksimal. Oleh karena itu kita sebagai masyarakat harus ikut membantu pemerintah misalnya seperti mengawasi penyaluran dana yang diberikan pemerintah ke daerah-daerah, menjaga dan merawat bangunan-bangunan sekolah agar dapat bertahan lama.
3.2 Saran-Saran
Pemeritah perlu meningkatkan lagi upaya-upaya pemerataan pendidikan yang masih belum maksimal dan terus mengembangkan upaya-upaya yang telah berhasil. Masyarakat juga harus lebih aktif dalam mengawasi pendanaan dari pemerintah dan menjaga fasilitas yang sudah ada agar bisa dipakai lebih lama.
TAMBAHAN SUMBER :Sudiyono. 2009. Regrouping Sebagai Upaya Efisiensi dan Efektivitas Pengelolaan Pendidikan.Yogyakarta. AP FIP UNY
Amalia Eka. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia. Malang. Karya tulis, Universitas Muhammadiyah Malang
MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN DUNIA PEKERJAAN
Masyarakat secara garis besar dapat dibedakan menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang yang tinggal di suatu tempat yang kehidupannya sudah serba modern. Sedangkan jelas kalau masyarakat pedesaan itu kehidupannya serba sederhana dan jauh dari serba modern.
Sedangkan untuk masyarakat pedesaan, seperti yang ada dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi, menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional yang mengenal ciri-ciri masarakat desa sebagai berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja. (lawan dari Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness), yaitu sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. (dikutip dari http://wawan-junaidi.blogspot.com/ )
Demikian tulisan dari saya, mohon maaf jikalau ada kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan aspirasi saya. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.
Antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan tentu ada kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada alasan antara kota dan desa di jadikan bahan untuk tidak saling membutuhkan,
Contoh Studi Kasus Antara masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
contohnya dalam lapangan pekerjaan, sebagian besar masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk mencari nafkah di kota, karena di kota lebih luas lapangan kerjanya dari pada di desa, lain halnya masyarakat kota yang selalu memilih tempat liburan ketika ingin mendinginkan fikiran dan hati karena padatnya kehidupan di kota kebanyakan memilih berliburan di daerah - daerah pedesaan.
Jadi intinya, masyarakat perkotaan secara tidak langsung membutuhkan adanya masyarakat pedesaan, begitu pula dengan sebaliknya, masyarakat pedesaan juga membutuhkan keberadaan masyarakat perkotaan, meskipun keduanya memiliki perbedaan ciri-ciri dan aspek-aspek yang terdapat di dalam diri mereka. Keduanya memiliki aspek positif dan aspek negatif yang saling mempengaruhi keduanya dan saling berkesinambungan.
http://damaisubimawanto.wordpress.com/2010/12/10/masyarakat-perkotaan-dan-pedesaan/
PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT PERSAINGAN ILMU ANTAR SESAMA
Orang-orang akan berusaha untuk berprestasi atau berusaha untuk maju karena adanya kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas.
Contoh: Seorang anak miskin berusaha belajar dengan giat agar mendapatkan kekayaan dimasa depan.
Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki kualitas. Kondisi ini perlu didukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan.
Transportasi jika ditilik dari sisi sosial lebih merupakan proses afiliasi budaya dimana ketika seseorang melakukan transportasi dan berpindah menuju daerah lain maka orang tersebut akan menemui perbedaan budaya dalam bingkai kemajemukan Indonesia. Disamping itu sudut pandang sosial juga mendeskripsikan bahwa transportasi dan pola-pola transportasi yang terbentuk juga merupakan perwujudan dari sifat manusia. Contohnya, pola pergerakan transportasi penduduk akan terjadi secara massal dan masif ketika mendekati hari raya. Hal ini menunjukkan perwujudan sifat manusia yang memiliki tendesi untuk kembali ke kampung halaman setelah lama tinggal di perantauan.
Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, dan jalan rel dapat menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.
Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi merupakan hal yang seharusnya dihindari. Sistem transportasi dan logistik yang efisien merupakan hal penting dalam menentukan keunggulan kompetitif dan juga terhadap pertumbuhan kinerja perdagangan nasional dalam ekonomi global. Jaringan urat nadi perekonomian akan sangat tergantung pada sistem transportasi yang andal dan efisien, yang dapat memfasilitasi pergerakan barang dan penumpang di berbagai wilayah di Indonesia.
Seperti yang dijelaskan diatas seiring dengan berkembangnya sector industri dan teknologi transportasi terjadi perubahan juga dari “kebutuhan” menjadi “gaya hidup”. Seseorang enggan menggunakanangkutan kota dan lebih memilihberkendara sengan kendaraan pribadi karena lebih efisian.maksudnya dapat sampai ditempat tujuantanpa harus berganti kendaraan.Selain itu kendaraan pribadi memberi nilai lebih bagi pemiliknya. Mereka yang mempunyai kendaraan lebih bagus atau mewah dari pada yang lain maka akan berkedudukan diatas yang lainnya yang tidak mempunyai kendaraan yang lebih mewah. Mewah tidaknya kendraan dan banyaknya kendaraa pribadi yang dimiliki menempatkan pemiliknya pada status social yang lebih tinggi.
Sumber: http://herodigeo.blogspot.com/2010/08/geo-dampak-positif-stratifikasi-sosial.html
WARGA NEGARA DAN NEGARA KEADILAN YANG TIDAK BERPIHAK PADA RAKYAT KECIL
Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Keadilan hukum bagi hak masyarakat harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Hak untuk mendapatkan keadilan hukum sama derajatnya dengan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Namun dalam praktiknya, masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan hukum. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Aturan normatif tersebut tak seindah praktik di lapangan. Proses penegakan hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan hukum, justru melahirkan ketidakadilan hukum. Dan kelompok masyarakat yang paling rentan dan sering menjadi korban ketidakadilan hukum ini adalah masyarakat yang masuk kategori lemah dan miskin. Sebaliknya proses penegakan hukum lebih cenderung berpihak pada kelompok kecil masyarakat yang memiliki akses dan kekuatan ekonomi dan politik-kekuasaan.
Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk kepentingan menyelesaikan S2 Sosiologi di Pascasarjana Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
ccontoh kepada Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena dituduh mencuri sandal milik seorang anggota polisi semakin menunjukkan, hukum hanya keras terhadap orang lemah. Hukum tak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan. Rasa keadilan hampir mati.
Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, M Zaidun; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Mudji Sutrisno, SJ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji dan Hikmahanto Juwana; sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto; Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Erna Ratnaningsih; Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch; serta Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Jakarta Ali Munhanif, Kamis (5/1), secara terpisah.
Mereka menanggapi putusan hakim tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah, yang menilai AAL bersalah dan menyerahkan pembinaannya kepada orangtua. AAL dituduh mencuri sandal jepit merek Eiger nomor 43 milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Namun, di persidangan, yang dijadikan alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Putusan hakim juga tak menyebutkan sandal itu milik Ahmad (Kompas, 5/1).
Putusan dari hakim Rommel mungkin tak bermasalah secara legal. Namun, mengingat perlakuan dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. ”Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. AAL diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi,” tuturnya.
Mudji Sutrisno dan Ali Munhanif, secara terpisah, mengakui, hukum di negeri ini cenderung memihak penguasa dan pemilik modal. Elite dapat berkelit dari hukum dengan kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan kerap menjadi korban. Kasus AAL bukanlah yang pertama di negeri ini yang menggambarkan ”matinya” rasa keadilan.
Ditambahkan Febri, hukum di Indonesia timpang. Buktinya, banyak terdakwa korupsi divonis rendah, bahkan bebas. Namun, AAL dan sejumlah orang kecil lain yang ”terpaksa” melakukan pelanggaran justru dihukum.
Menurut Hikmahanto, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan pemerintah juga belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.
”Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Kamis. Keadilan pun tidak diperoleh rakyat kecil.
Erna pun mengakui, sampai kini penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Berkaca dari vonis bersalah terhadap AAL dan bebasnya puluhan terdakwa korupsi, rakyat seperti mendapatkan gambaran bahwa pemerintah tidak pernah memberikan keadilan kepada mereka.
Menurut Hikmahanto, ketidakadilan yang terus-menerus dirasakan rakyat bisa membuat mereka tak tahan dan berontak. Seharusnya pemerintah peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
Muji mengakui, hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Itu terjadi karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan modal, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang.
”Kondisi ini berbahaya karena yang berlaku dalam kehidupan kita akhirnya seperti hukum rimba. Siapa kuat, dia yang menang. Masyarakat alami krisis dan hukum akan dilecehkan,” katanya.
Bagi Ali, hukum yang memanjakan penguasa dan menekan rakyat akibat dominannya politik dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak persoalan bangsa, termasuk kasus hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik dengan mengandalkan legitimasi politik.
Terlalu legalistik
Menurut Soetandyo, putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena hakim terlalu legalistik. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
”Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah UU, melainkan hakimnya. Hakim harus pandai memberi putusan yang bisa diterima,” ujarnya, Kamis.
Hakim bukan komputer yang mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi hukum sendiri, yaitu rasa keadilan. Misalnya, aturan mengatur mencuri adalah sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus dihukum. Ketika seseorang didapati mencuri sandal jepit, ia harus dihukum. Hal itu tak benar. Hakim, kata Soetandyo, seharusnya mempertimbangkan hal lain, seperti siapa pelaku pencurian itu.
Hukum, menurut dia, terasa tajam untuk rakyat kecil karena masyarakat tidak dilindungi oleh organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat rendah. Lain dengan pelaku korupsi yang justru dilindungi organisasi atau struktur pemerintahan.
Indriyanto mengutarakan, hakim sebenarnya bisa membebaskan AAL meski terbukti mencuri. Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap masyarakat yang luas. Untuk kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, dan kakao, pendekatan seperti itu yang juga disebut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan itu juga bisa digunakan pada tingkat penyidikan.
Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko mengungkapkan, hakim masih sulit menerapkan pendekatan restoratif dalam menangani perkara. Keadilan restoratif sebenarnya masih merupakan wacana dan hingga kini belum dicantumkan dalam UU.
Djoko pun mengakui, MA melakukan uji coba penerapan keadilan restoratif di sejumlah pengadilan. Terkait kasus sandal jepit, ia berpendapat, seharusnya tak perlu sampai ke pengadilan.
Di Serang, Kamis, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengakui sedang memikirkan payung hukum untuk menghindarkan proses penanganan yang berlebihan terhadap tindak pidana yang melibatkan rakyat kecil dan menyangkut kasus kecil.
Dari Cilacap, Jawa Tengah, dilaporkan, dua pemuda yang diduga mengalami keterbelakangan mental kini terancam dihukum karena disangka mencuri sembilan tandan pisang. Kendati ada perdamaian dengan pemilik pisang, polisi tetap memproses hukum dan menahan keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum.
http://hasbiashshiddiqyhasanbassis.blogspot.com/2012/06/hukum-dan-keadilan-masyarakat-bagi.html
PEMUDA DAN SOSIALISASI TAWURAN ANTAR PELAJAR
Latar Belakang
Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”. .
.“Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua.
Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah (tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com). Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.
Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum.
Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif.
. M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency menunjukkan bahwa self-esteem bisa meramalkan masalah-masalah pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak berusia 11 tahun dengan self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans, Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi..
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud memandang tawuran dengan memahami bebarapa perspektif perilaku agresi dan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.
Pengertian
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
Penyebab Terjadinya Tawuran
Faktor internal, faktor ini merupakan faktor utama penyebab para pelajar banyak yang “ikut-ikut” tawuran diantaranya.
Ajakan teman, beberapa pelajar yang tawuran ternyata ada diantara karena ajakan teman, karena takut dibilang “cupu loe ga mau ikut tauran, punya nyali ga loe..??” atau “ini kan buat kebaikan sekolah kita, klo loe ga ikut mending ga usah jadi temen gue..”, hal ini juga pernah terjadi pada diri saya pribadi, akan tetapi saya selalu mengabaikan hal tersebut karena saya tahu hal itu tidak berguna.
Mental yang lemah, tidak mau dibilang “cupu” atau “culun” banyak diantara mereka terlibat dalam tawuran, ini mencerminkan bahwa mental para pelajar kita sangatlah lemah, hal ini tentu harus segera diperbaiki secepatnya, mulai dari diri sendiri dengan dibantu pihak-pihak terkait seperti guru dan orang tua.
Faktor eksternal, selain faktor internal faktor eksternal secara tidak langsung mendorong para pelajar pelajar untuk melakukan aksi tawuran, diantaranya.
Ekonomi, biasanya para pelaku tawuran adalah golongan pelajar menengah kebawah ini disebabkan faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat membuat mereka melampiaskan segala ketidakberdayaannya lewat aksi perkelahian tersebut, karena diantara mereka merasa dianggap rendah ekonominya dan akhirnya ikut tawuran agar dapat dianggap jagoan.
Perhatian, kurangnya perhatian dari orang-orang disekitar mereka seperti orang tua dan guru membuat mereka bebas dan bisa melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, termasuk tawuran diantaranya.
Perkelahian antar pelajar memang berdampak buruk baik untuk pelajar itu sendiri juga bagi orang lain, tetapi tawuran antar pelajar masih sangat mungkin diminimalisir dengan beberapa cara, seperti memberi perhatian lebih kepada para pelajar, jika disekolah diberikan kegiatan tambahan seperti extrakulikuler, dirumah orang tua bisa lebih dekat lagi dengan anak-anaknya dan lebih banyak bertanya jika anaknya pulang terlambat dan yang terpenting kesadaran dari setiap individu sangat diperlukan, karena jika tidak ada kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan dalam tawuran, maka akan mudah terpengaruh dari oleh orang lain.
Dampak Dari Tawuran
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Cara mengatasi Terjadinya Tawuran
Untuk mengatasi masalah tawuran antar pelajar, di sini penulis akan mengambil dua teori. Yang pertama adalah dari Kartini Kartono. Dia menyebutkan bahwa untuk mengatasi tawuran antar pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya adalah:
a. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri, dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
b. Memberi kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
c. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi remaja.
Teori yang kedua adalah dari Dryfoos, dia menyebutkan untuk mengatasi tawuran pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya harus diadakan program yang meliputi unsur-unsur berikut :
a. Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekedar berfokus pada kenakalan.
b. Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satu pun komponen yang berdiri sendiri sebagai peluru ajaib yang dapat memerangi kenakalan.
c. Program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah masalah belajar dan berperilaku
d. Sekolah memainkan peranan penting
e. Upaya-upaya harus diarahkan pada institusional daripada pada perubahan individual, yang menjadi titik berat adalah meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung
f. Memberi perhatian kepada individu secara intensif dan merancang program unik bagi setiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang berisiko tinggi untuk menjadi nakal
Manfaat yang didapatkan dari suatu program sering kali hilang saat program tersebut dihentikan, oleh karenanya perlu dikembangkan program yang sifatnya berkesinambungan.
TAMBAHAN SUMBER : http://www.masbow.com/2008/05/tawuran-pelajar-ditinjau-dengan.html
INDIVIDU KELUARGA DAN MAYARAKAT
PERAN PEMERINTAH TERHADAP LARANGAN MEROKOK
A. Pendahuluan
Merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing bagi bangsa ini. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak merokok juga dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Sebuah laporan yang dirilis World Health Organization (WHO) pada awal tahun 2008 memperkirakan bahwa 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok apabila pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau. Dalam kesempatan itu WHO juga merekomendasikan agar setiap negara melakukan enam tindakan guna menekan angka perokok dan tindakan merokok di masing-masing wilayahnya. Pertama, memperbaiki kualitas data penggunaan tembakau di wilayahnya. Kedua, meniru pelarangan keberadaan tembakau seperti di Irlandia. Dimana mereka melarang seluruh keberadaan tembakau ditempat kerja. Ketiga, mengintensifkan upaya untuk membujuk dan membimbing para perokok untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Sedangkan tiga tindakan lainnya mengenai upaya agar para perokok tidak merokok di tempat umum. Namun rekomendasi yang paling ampuh yang ditawarkan oleh WHO ialah agar setiap negara memberlakukan pajak yang sangat tinggi untuk tembakau hingga sepuluh kali lipat.
Setidaknya pemerintah daerah DKI Jakarta sebelum rekomendasi dari badan WHO itu dikeluarkan, mereka sudah bersiaga melalui Perda No.2 Tahun 2005 dan telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan dilanjutkan dengan Peraturan Gubernur No. 88/2010 tentang Larangan Merokok. Pemerintah daerah segera menginstruksikan agar setiap tempat umum ataupun gedung pemerintahan maupun swasta menyediakan ruangan khusus bagi perokok (smooking room). Pelarangan ini juga membuat suatu sanksi yang tegas apabila mereka ketahuan merokok di tempat umum dikenai denda sebesar 50 juta rupiah dan kurungan minimal 6 bulan serta sanksi kepada gedung-gedung yang tidak menyediakan smooking room. Beberapa kawasan dilarang merokok ini terbagi menjadi 5 “Kawasan Dilarang Merokok” (KDM Total) yang meliputi tempat pelayanan kesehatan, tempat ibadah, tempat proses belajar mengajar, area kegiatan anak-anak dan angkutan umum, dan 2 “Kawasan Dilarang Merokok” secara terbatas (KDM Terbatas) yaitu tempat umum dan tempat kerja. Adapun tujuan dari Perda tersebut, yakni tidak melarang orang untuk merokok di Jakarta, melainkan mengatur tempat-tempat di mana seseorang boleh merokok atau tidak. Dan sekali lagi, asap rokok dapat berdampak kepada kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah mengatur tempat-tempat tertentu agar paparan asap rokok yang ditimbulkan dari kegiatan merokok tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok, tetapi juga tidak menghalangi hak perokok dewasa untuk merokok.
Tulisan ini akan membahas tentang kebijakan yang berkaitan dengan kawasan dilarang merokok ditempat umum di Jakarta. Kebijakan ini lahir karena pemerintah menyadari bahwa asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik bagi perokok (aktif) maupun masyarakat yang tidak merokok (pasif). Namun di sisi lain, kegiatan merokok merupakan hak bagi perokok dewasa. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu adanya suatu pembatasan terhadap area tertentu yang dinyatakan sebagai “Kawasan Dilarang Merokok” guna melindungi masyarakatnya yang tidak merokok. Kemudian dalam hal ini pemerintah daerah Jakarta mengeluarkan Perda larangan merokok ditempat umum yakni Perda No.2 Tahun 2005 dan Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan dilanjutkan dengan Peraturan Gubernur No. 88/2010 tentang Larangan Merokok.
Adapun fokus dari tulisan ini adalah bukan melihat kawasan-kawasan larangan merokok itu akan tetapi lebih melihat kepada proses pembuatan kebijakan itu sampai kepada implementasinya di lapangan yang kemudian tulisan ini akan mengungkap dimensi-dimensi yang tersembunyi dibalik penggunaan otoritas dari sebuah kebijakan larang merokok di tempat umum dan juga bagaimana publik dalam merespon kebijakan tersebut.
B. Lingkungan dan Larang Merokok
Salah seorang ahli psikologi terkenal, B.F. Skinner (1904-1990) menekankan pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang. Bahwa kepribadian merupakan pola perilaku konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami. Selama ini, kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut. (George Boeree. 2008: 226-229)
Salah satu bentuk reinforcement itu adalah dilihat dari budaya merokok. Hampir semua orang tahu merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Informasi tentang hal tersebut sangat gencar tersebar di masyarakat, baik oleh pemerintah, organisasi kesehatan, maupun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Bahkan di setiap bungkus rokok pun terdapat tulisan peringatan akan bahaya merokok. Belakangan, aktivitas merokok mencuat menjadi pembicaraan masyarakat. Merokok kini diketahui tidak hanya berbahaya bagi kesehatan si perokok (aktif) tetapi juga bagi orang yang berada dekat dengan si perokok (pasif) dan juga dapat menganggu kenyamanan di tempat umum serta menimbulkan pencemaran udara.
Dalam laporan WHO tahun 1983 sampai 2008 menyebutkan, jumlah perokok di negara berkembang meningkat 2,1% per tahun, sedangkan di negara maju justru terjadi penurunan sekitar 1,1% per tahun. Di dalam negeri, sebuah penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok. Bahkan pada kelompok remaja, 49% pelajar pria dan 8,8% pelajar wanita di Jakarta sudah merokok. Dan pada tahun 2008 WHO memperkirakan bahwa 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok, apabila pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau.
Kemudian alasan para perokok tidak mau berhenti merokok, bahwa mereka akan susah berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa jadi gemuk. Bila merokok, mereka merasa lebih dewasa dan dapat memperoleh ide atau inspirasi secara lebih baik. Faktor psikologis dan fisiologis itulah yang banyak mempengaruhi kebiasan merokok di masyarakat. Kenyataannya dibalik semua itu merokok justru menimbulkan kerusakan pada kesehatan mereka. Upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika. Yang tidak kalah penting, tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok. (http://mandorkawat2009.wordpress.com/2009/09/22/merokok-salah-satu-unsur-pencemar-lingkungan-membahayakan-kesehatan-manusia-2/).
Seiring dengan meningkatnya keresahan akan bahaya merokok ini, kemudian pada tahun 2005, Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta dengan mengacu kepada Perda No.2 Tahun 2005 tentang Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Maka dikeluarkan PerGub No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan merokok dan sekarang Fauzi Bowo pada tahun 2010 mengeluarkan juga PerGub No. 88/2010 tentang Larangan Merokok dimana implementasi kebijakan itu berada pada Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Satpol Pamong Praja dan dibantu pihak Kepolisian. Hal inilah yang diperlukan dalam rencana bagaimana menampilkan pemerintah dan warga untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Adapun pada fase-fase awal pelaksanaan kebijakan larangan merokok sangat dipatuhi oleh para perokok, hal ini dapat dibuktikan ketika sosialisasi dan banyaknya razia yang dilakukan menyebabkan para perokok merasa perlu untuk menyadari akan pentingnya mematuhi kebijakan tersebut. Akan tetapi ada masalah yang timbul di dalam sosialisasi larangan merokok di tempat umum selanjutnya. Dimana dalam kegiatan tersebut semakin tidak menunjukkan punishment yang cukup tegas terhadap perokok, sejauh yang dilakukan adalah tindakan untuk memberikan penyadaran dalam bentuk teguran. Kekuatan hukum yang kelihatan angin-anginan ini tercermin dari pasal-pasal dari peraturan tersebut yang mengurus sanksi untuk pelanggar. Untuk pelanggar individu jika ditemukan merokok dikawasan bebas rokok, perokok hanya sebatas diberi surat peringatan dan untuk gedung-gedung akan dikenai sanksi dipublikasikan di media masaa.
Mengadopsi kepada teori sistem yang mengemukakan bahwa pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Tuntutan-tuntutan itu timbul dalam lingkungan dan ditransmisikan ke dalam sistem politik. Pada saat yang sama, lingkungan menempatkan peranan penting yang dipakai oleh para pembuat kebijakan. Termasuk keadaan geografis, jumlah penduduk, budaya sosial dan politik serta ekonomi yang ada dalam lingkungan tersebut (Budi Winarno, 1989: 33). Jadi lingkungan ini sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan, karena biasanya kebijakan itu lahir dari keadaan lingkungan yang semakin membahayakan bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu kebijakan ini lahir, karena dipandang bahwa Jakarta sebagai kota pusat ibu kota yang memiliki kepadatan penduduk yang besar dan dalam hal ini diperlukan regulasi tentang pencemaran udara melalui peraturan daerah dan gubernur untuk menanggulangi masalah pencemaran udara dari rokok.
C. Proses Pembuatan kebijakan Kawasan Larang Merokok
Proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapinya. (William N. Dunn, 2003: 22-23)
Adapun proses pembuatan kebijakan disini adalah kebijakan yang dibuat Pemprop DKI Jakarta, Perda No.2 tahun 2005 pasal 13 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dijadikan dasar pembentukan Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Dalam Perda no.75 tahun 2005 tersebut diatur tempat-tempat dan kawasan di mana orang-orang tidak boleh merokok sembarangan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dibentuknya Perda tersebut karena muncul banyak keluhan dari masyarakat tentang gangguan asap rokok di tempat umum, kurangnya kesadarn para perokok yang masih saja seenaknya merokok di tempat-tempat umum tanpa memperhatikan aspek kenyamanan dan dampak kesehatan bagi orang lain, serta meningkatnya tuntutan kesehatan dan pengetahuan tentang dampak negatif asap rokok. Dari identifikasi Pemprov DKI Jakarta, hal-hal tersebut ditangkap sebagai sebuah “masalah publik” yang memerlukan regulasi, sehingga Pemprov DKI Jakarta menampung input tersebut dan mengaplikasikannya menjadi sebuah kebijakan.
Setelah masalah itu itu timbul, maka selanjutnya adalah tahap formulasi kebijakan. Dimana para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif kebijakan sebagai pemecahan masalah yang ada. Tahap ini ada setelah para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut dalam agenda kebijakan. Kronologisnya masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan akan dibahas oleh para pembuatan kebijakan. Lalu masalah-masalah yang ada didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, jika dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Namun Pada tahap formulasi masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan terbaik. Misalnya pemerintah akan membuat kebijakan larangan merokok ditempat-tempat umum. Maka pilihan kebijakannya meliputi : Pertama, larangan merokok ditempat umum ditetapkan karena memberikan dampak positif dilihat dari perspektif kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Kedua, larangan merokok ditempat umum tidak ditetapkan karena memberikan dampak negatif pada kondisi ekonomi negara Indonesia. Alternatif kebijakan ini didasarkan atas beberapa usulan dari Pemprop DKI Jakarta, Dinas kesehatan DKI Jakarta, LSM yang bergerak pada bidang kesehatan masyarakat, pengusaha, dinas pekerjaan umum dan lain-lain.
1. Usulan dinas kesehatan agar larangan merokok ditempat umum di tetapkan yakni untuk mengurangi angka kematian, dengan melihat dampak rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kanker serangan jantung serta ganguan janin namun yang menjadi alasan terbesar rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Oleh sebab itu diperlukan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Maka dengan adanya larangan merokok ditempat umum akan memberikan efek yang sangat positif di bidang kesehatan.
2. Dari pengusaha dan dinas pekerjaan umum berpendapat bahwa larangan merokok ditempat umum akan menimbulkan penurunan jumlah perokok padahal keberadaan perokok bagi perusahaan merupakan hal yang sangat menguntungkan. Dengan semakin banyaknya perokok, secara otomatis semakin banyak pula laba yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dengan meningkatnya laba perusahaan rokok, maka secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak juga meningkat (pajak untuk rokok sebesar 36%). Dengan meningkatnya pendapatan negara dari sektor pajak, maka kesejahteraan rakyat juga terangkat. Karena dengan penghasilan dari pajak itulah pemerintah membiayai pembangunan negaranya. Selain itu, dengan adanya perokok juga berarti pekerja pabrik rokok tetap bisa bekerja. Bisa dibayangkan apabila satupun perokok sudah tidak diberi kebebasan lagi. Maka dipastikan tidak ada pabrik rokok, yang berarti tidak ada pekerja di pabrik rokok. Berarti pula meningkatnya jumlah pengangguran kerja. Maka mereka dari pengusaha ini tidak setuju dengan adanya larangan tersebut.
3. Dari Pemprop yang sangat mendukung dengan adanya larangan merokok ditempat umum karena larangan tersebut merupakan upaya Pengendalian Pencemaran Udara yang akan menciptakan udara yang sehat dan bersih bagi lingkungan sekitar.
4. Dari LSM yang berpendapat keberadaan perokok merupakan ancaman bagi generasi kita. Bukanlah rahasia lagi apabila banyak di antara remaja (siswa) yang merokok di tempat umum dengan masih mengenakan seragam sekolah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam pergaulan. Maka dengan larangan merokok ditempat umum dan disertai sanksi yang tegas maka upaya untuk menciptakan generasi muda yang bebas dari asap rokok dan memilki perilaku yang baik akan terwujud.
Dalam tahap formulasi terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara LSM, Pemprop, dan dinas kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan larangan tersebut. Dengan perspektif ekonominya yang menganggap merugikan pemerintah dan pengusaha dalam hal pendapatan. Kondisi seperti ini, yang menunjukkan kepada pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dengan melihat manfaat yang akan didapat apabila larangan tersebut ditetapkan maka para aktor pengambil kebijakan menyetujui ditetapkannya larangan tersebut. Maka proses selanjutnya adalah dengan mengadakan legitimasi.
Di dalam proses legitimasi kebijakan merupakan proses penetapan dari salah satu alternatif kebijakan yang telah terpilih oleh para perumus kebijakan diseleksi dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. Legitimasi menghasilkan sumber informasi yang kuat dan relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Rekomendasi juga merupakan bagian dari proses legitimasi yang merupakan suatu proses yang nantinya akan mengarah pada legitimasi kemudian akan membantu mengestimasikan tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat yang ditimbulkan, menentukan kinerja dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
Dalam tahap legitimasi juga berlangsung proses penyeleksian proposal atas usulan kebijakan tersebut, membangun dukungan politik serta mengabsahkannya menjadi undang-undang. Dalam birokrasi yang teratur, pengeluaran publik dan kegiatan badan legislatif dapat diketahui berdasarkan standar kebijakan tersebut.
Ditubuh birokrasi itu sendiri mempunyai peran dan posisi yang vital dalam proses pengelolaan kebijakan termasuk pembuatan kebijakan publik. Birokrasi baik itu secara langsung maupun tidak langsung sangat menentukan tingkat efisiensi dan kualitas pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat serta efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan dapat berjalan secara efektif apabila terdapat birokrasi yang sehat serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi dan representatif dari masyarakat.
Peran penting yang dimiliki birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik menimbulkan pengaruh lain. Birokrasi dan sistem politik menjadi berkaitan erat sehingga mendorong birokrasi untuk turut campur dengan kehidupan politik sehingga netralitas yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi semakin berkurang. Birokrasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mencapai ataupun mempertahankan kekuasaan pihak terkait.
Kebijakan publik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh birokrasi publik. Lingkungan sekitar baik itu lingkungan internal maupun lingkungan eksternal mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik. Dari aspek eksternal meliputi kesiapan dalam menerima setiap keputusan dalam pembuatan kebijakan publik dari stakeholder yang bervariasi di masyarakat.
Berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang Merokok sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pemberlakuan Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara, diketahui bahwa alternatif tersebut dilegitimasi mengingat bahwa kebijakan ini bertujuan sebagai faktor pendukung dari Perda sebelumnya tentang pengendalian pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta dengan mempertimbangkan segala sebab dan akibat dari kebijakan tersebut. Namun, setelah segala pertimbangan menuju kepada tahap legitimasi, hal ini menimbulkan pro kontra antara pihak yang memiliki perbedaan kepentingan.
Di satu sisi amanat akan Perda tentang pengendalian pencemaran udara akan dibantu dengan disahkannya Perda tentang kawasan dilarang merokok. Namun, di sisi lain hal ini secara perlahan akan mengurangi aspek pendapatan negara karena sebagian sektor pendapatan berasal dari produksi akan rokok itu sendiri. Akan tetapi dilihat dari berbagai alternatif beserta konsekuensi dan manfaat yang akan ditimbulkan dari diberlakukannya perda tentang kawasan larangan merokok ini maka perda ini tetap dipertahankan dengan prosedur yang telah tertuang dan tidak lepas dari peran masyarakat atau lembaga dan organisasi yang berkembang di masyarakat.
Kebijakan publik merupakan respons dari sebuah sistem politik terhadap tuntutan maupun dukungan yang mengalir dari lingkungannya. Pemerintah sebagai pelaku utama implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi administratif. Fungsi politik merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan para aktor lain juga harus memainkan peran pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan itu.
Sebuah kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut: identifikasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi. Khusus pada bagian ini, akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan pada sisi lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, output maupun sebagai hasil.
Tahap implementasi kebijakan ini tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tahap ini terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Perda ini berisi tentang pengendalian pencemaran udara yang menjadi dasar larangan merokok di area publik atau tempat umum. Penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Berbagai kendala terutama terkait implementasi pemberian sanksi terhadap pelaku, masih menjadi kesulitan utama di lapangan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga menyatakan bahwa perda larangan merokok di tempat umum masih kurang efektif. Menurutnya, untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perda tersebut pemprov akan lebih banyak melibatkan komponen masyarakat. Dalam pelaksanaan peraturan daerah ini membutuhkan kerjasama masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan berbagai perda mengingat jumlah aparat yang terbatas.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan dilarang merokok. Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan kesehatan orang lain.
Merokok merupakan hal yang sudah umum di kalangan masyarakat kita. Begitu umum dan lumrahnya, anak yang secara emosional belum dewasa pun kerap kali kedapatan merokok. Suatu kebanggaan, begitu kata mereka. Bahkan seringkali kedapatan remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh, sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati.
Perda Nomor 2 tahun 2005 memiliki sanksi yang cukup berat, yakni berupa kurungan badan selama enam bulan penjara atau denda uang sebesar Rp 50.000.000,-/ lima puluh juta rupiah. Karena tidak adanya ketegasan dari penerapan larangan merokok pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta akan mengajukan perda khusus yang berbentuk rokok dengan sanksi tindak pidana ringan (tipiring). Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ibu Peni Susanti mengatakan penegakkan hukum akan sangat sulit sebab memerlukan dana, sumber daya manusia, kapasitas, dan tentu saja kinerja institusi yang tidak terbatas.
Oleh karena itu, ternyata para elemen masyarakat melalui BPLHD bekerja sama dengan SIF (Swisscontact Indonesia Foundation) telah mengkaji aspek legislasi pada peraturan daerah tersebut. khususnya pasal 13 yang berbunyi sanksi minimal enam bulan penjara dan denda hingga Rp 50.000.000,-. Selain revisi sanksi, implementasi Kawasan Dilarang Merokok (KDM) kemungkinan juga akan dirubah. Kalau pada awalnya KDM itu artinya adalah salah satu ruangan khusus untuk merokok maka untuk selanjutnya berarti tidak akan ada ruangan khusus untuk merokok juga untuk perokoknya. Lima kawasan yaitu sekolah, tempat ibadah,sarana kesehatan,tempat bermain anak dan angkutan umum KDM akan total, tak akan boleh ada asap rokok yang mengepul.
Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan juga menyatakan bahwa kendala dalam penegakan selama ini adalah pada jam penegakan di lapangan pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat kehakiman dan harus melakukan pemberkasan sebelum dijatuhkan sanksi. Nantinya sanksi revisi di perda baru disederhanakan dan menjadi sanksi tipiring. Bentuknya seperti pengendara bermotor yang melanggar akan ditilang dan wajib mengikuti persidangan. Selain sanksi pidana juga ada sanksi administrasi seperti pencabutan izin operasi akan diakomodasi di revisi peraturan daerah. Revisi perda biasanya dilaksanakan lima tahun sekali yang untuk selanjutnya akan dilakukan pada tahun 2010.
BPLHD dalam hal ini telah banyak membantu dalam proses revisi perda tersebut, yang bertujuan untuk melindungi pekerja dan pengunjung dari bahaya asap rokok. BPLHD pun juga telah melakukan evaluasi kinerja terhadap penerapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Dari 120 kawasan perkantoran dan rumah sakit yang dievaluasi antara lain terungkap sebanyak 36 persen diantaranya berkategori buruk dalam menerapkan perda larangan merokok.
Sebagai focal point bahwa ternyata Perda ini telah menghilangkan kenikmatan para perokok sebagai akibat dari masyarakat yang terganggu dengan asap rokok tersebut dan penulis merasa perlu menghadirkan Perda ini tidak hanya saja di DKI Jakarta. Untuk itu Perda tentang larangan merokok semakin dirasakan membawa dampak yang positif dan harus diberlakukan di sejumlah kota di Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta. Perda larangan merokok di Indonesia harus diberlakukan untuk tempat-tempat umum seperti perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, sarana kesehatan, tempat bermain anak dan angkutan umum, dan sebagainya. Maka untuk itu, perda ini masih harus disosialisasikan kepada publik agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan biasanya kebijakan itu dirasakan masyarakat tidak mengetahui tentang Perda ini, karena kurangnya sosialisasi baik pemerintah daerah sendiri maupun para pihak swasta yang harus mendukung kebijakan ini.
D. Implementasi Kebijakan Kawasan Dilarang Merokok
Implementasi dari Perda No.2/2005 tentang larangan merokok ditempat umum ini mulai diberlakukan pada 6 April 2006, yakni untuk semua wilayah DKI Jakarta. Dan yang bertindak sebagai implementator dari kebijakan ini adalah dinas kesehatan DKI Jakarta, petugas satpol PP dibantu petugas dari pihak kepolisian. Adapun bentuk sanksi pelanggaran berupa tilang bagi orang-orang yang melanggarnya, dan selanjutnya mengikuti proses sidang bagi para pelanggar dengan sanksi yang telah ditetapkan maksimal 6 bulan kurungan atau denda Rp 50 juta.
Tidak sedikit pro dan kontra atas kebijakan ini, yakni terutama dari para aktivis LSM dan para pengusaha dan perokok itu sendiri. Paling tidak Perda ini sudah lebih dari empat tahun dijalankan, ada beberapa hal yang perlu untuk dievaluasi, terutama dalam pelaksanaanya. Pertama, berhubungan dengan tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai KDM. Sangat mudah ditemukan orang-orang yang melanggar peraturan ini, seperti misalnya di angkutan umum atau tempat ibadah. Di sana kita bisa melihat orang-orang dengan bebas bisa merokok. Di sini jelas terlihat bahwa pengawasan di tempat-tempat seperti ini masih sangat minim. Bahkan di tempat-tempat yang kuat dengan penjagaannya pun kita bisa menemukan beberapa orang merokok di area bertuliskan “Kawasan Dilarang Merokok”. Kedua, mengenai pengawasan terhadap KDM. Penulis merasa pengawasan ini masih sangat minim. Walaupun masyarakat juga dilibatkan dalam pengawasan ini, tetapi penulis yakin kebanyakan orang akan memilih untuk menghindari orang-orang yang merokok daripada harus bercapek-capek dengan melaporkan perokok yang melanggar tersebut. Bahkan, banyak di antara masyarakat yang lebih memilih diam daripada sekedar menegur orang-orang yang merokok. Tentu dengan melihat sikap masyarakat ini, pemerintah tidak bisa mengharapkan partisipasi besar dari masyarakat untuk pengontrolan terkait KDM, akan tetapi perlu pengawasan yang lebih optimal dari aparat terkait. Ketiga, terkait peran Dinas Kesehatan Pemprop DKI Jakarta sebagai pembina dan pengawas kawasan dilarang merokok. Penulis merasa pelaksanaannya masih sangat minim. Hal ini terutama bisa kita lihat dalam perberdayaan masyarakat, kita bisa dengan jelas melihat dan merasakan bahwa masyarakat masih sangat jauh dari kata peduli terhadap bahaya merokok. Keempat, masih banyak pelanggaran yang seharusnya dicontohkan oleh para petugas Pemprop DKI Jakarta, akan tetapi mereka malah mencontohkan hal yang tidak seharusnya. (http://indotc1.blogspot.com/2007/06/lumpuh-larangan-merokok-di-tempat-umum.html).
Terakhir, ketegasan pemerintah maupun aparat terkait masih belum bisa membuat masyarakat jera. Masih banyak tempat-tempat yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai kawasan bebas merokok, tetapi di sana kita juga bisa menemukan banyak pelanggara yang terjadi.
Merilee S. Grindle dan John W. Thomas menyebutkan ada dua pendekatan utama dalam memahami kebijakan publik yaitu, pertama, pendekatan yang berpusat pada masyarakat, dan kedua, pendekatan yang berpusat pada negara. Pendekatan pertama dapat dapat dibagi lagi ke dalam pendekatan analisis kelas, pendekatan pluralis, dan pendekatan public choice. Sedangkan pendekatan kedua dibagi atas model aktor rasional, pendekatan bureaucratic politics dan pendekatan kepentingan negara (Gabriel Lele, 2004: 243-244).
Inti dari pendekatan-pendekatan tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan siapa yang mengartikulasikan kepentingan publik dan kepentingan publik yang mana yang diartikulasikan. Sehingga dengan melihat kebijakan yang dikeluarkan oleh DKI Jakarta dengan membuat Perda dan Pergub tentang Larangan Merokok dapat penulis jelaskan dibawah ini.
Pertama, pendekatan berdasarkan analisis kelas, yakni pendekatan yang melihat bahwa ada kelas dominan yang menjadi kanal dari sebuah kebijakan itu dibuat, dimana negara menjadi alat atas kelas tersebut yang sekaligus dipakai untuk mengkooptasi kelas tertentu melalui mekanisme korporatisme. Paling tidak ini dapat dilihat bahwa dalam proses pembuatan kebijakan larangan merokok diindikasikan bahwa diskriminasi itu berlangsung dari kelas dominan yang berada di pemerintahan daerah diturunkan kepada dinas kesehatan Jakarta untuk menanggulangi perihal para perokok, dengan tidak memperbolehkan merokok disembarang tempat dan juga melihat bahwa kebijakan ini mengarah kepada permainan modal asing dimana dalam peraturan-peraturannya tersebut tidak jelas arah keberpihakannya, yakni terhadap industri lokal dan hak warga negara.
Pendekatan pluralis, pada pendekatan ini melihat bahwa kebijakan publik sebagai hasil dari kompromi yang dipicu oleh konflik, pertarungan dan pembentukan koalisi strategis diantara sejumlah besar kelompok sosial yang diorganisasi untuk memperjuangkan atau melindungi kepentingan para anggotanya. Dalam artian bahwa kebijakan larangan merokok adalah hasil dari kompromi atas pemprop DKI, LSM, pengusaha dan dinas kesehatan, juga ditambah dengan fatwa haram merokok yang dilakukan para tokoh agama dan juga hasil dari kecenderungan tingkat polusi udara Jakarta yang semakin meningkat dengan ditambah para perokok yang semakin memperkuat bahwa kebijakan ini harus dibuat.
Dan pendekatan public choices, yakni bisa digambarkan masyarakat sebagai rent-seeking society. Dimana elit yang terpilih merupakan policy instrument yang harus memperjuangkan kepentingan aktor-aktor tersebut. Padangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan pluralis, dan perbedaan hanya terletak pada peran negara. Peran negara dalam pandangan ini bukanlah sebagai arbitrator atau hakim yang netral dalam proses formulasi kebijakan sebagaimana dikonsepsikan pandangan pluralis (Gabriel Lele, 2004: 244).
Selanjutnya, pendekatan yang mengatasnamakan aktor rasional sebagai pembuat kebijakan adalah bahwa para pembuat kebijakan negara itu bersumber dari aktor-aktor rasional yang mampu melakukan kalkulasi untung-rugi, mengakumulasi informasi, menilai sejumlah alternatif yang tersedia, serta membuat pilihan yang rasional, yakni para birokrasi atau pembuat kebijakan di pemprop DKI Jakarta yang membuat kebijakan berdasarkan atas pendekatan rasional komprehensif tanpa berinisiasi memberi peluang kepada masyarakat luas tentunya.
Pendekatan politik birokratik oleh Graham Allison (1971), melihat bahwa kebijakan publik merupakan hasil kompetisi dari berbagai entitas atau departemen yang ada dalam suatu negara dengan lembaga-lembaga negara sebagai aktor utamanya yang terikat oleh konteks, peran, kepentingan dan kapasitas organisasionalnya. Sedangkan pendekatan dari kepentingan negara pada dasarnya merupakan respon terhadap pendekatan kelas. Negara dianggap sebagai aktor otonom yang memiliki kepentingan sendiri. Dengan demikian, negara mampu memformulasikan agenda publik secara independen serta merumuskan alternatif solusi atas agenda-agenda tersebut. (Gabriel Lele, 2004: 245).
E. Evaluasi Kebijakan Larangan Merokok
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi sebuah kebijakan publik tentunya melibatkan berbagai pihak, diantaranya masyarakat sebagai objek dari pembangunan. Suatu kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Masyarakatlah yang berhadapan langsung dengan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Birokrasi, baik dalam berbagai jabatan pemerintah turut serta dalam memfasilitasi pelayanan publik tersebut, agar sesuai dengan yang diharapkan, yakni efektif, efisien, dan accountable. Evaluasi kebijakan seringkali dianggap sebagai tahap akhir penutup perumusan kebijakan, padahal dalam mengevaluasi akan biasa ditemukan kesukaran. Masyarakat pada dasarnya menginginkan perumusan kebijakan yang secara umum demokratis dan juga arif seringkali menimbulkan kontradiktif. Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.
Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama, dan yang terpenting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai. Peran birokrasi dalam evaluasi kebijakan publik adalah dengan diterimanya setiap ada aduan dari rakyat apabila sebuah kebijakan atau program pemerintah dinilai menyeleweng dari kepentingan rakyat atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat. Di dalam keputusan perda Jakarta mengenai larangan merokok di tempat umum memerlukan evaluasi apakah memang tepat sasaran ataukah tidak. Adapun formulasi kebijakan yang diambil dalam pembuatan Perda ini adalah model teknokratis rasional yang artinya mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja teknik. Dimana formulasi kebijakan ini hanya dipercayakan kepada mereka yang menguasai (Pemprop DKI) yang menguasai pengetahuan dan kemampuan yang lebih dan mampu untuk mengatasi permasalahan atas rokok ini, tanpa memandang perlu memediasi antara masyarakat, LSM, pengusaha dan pihak-pihak yang nantinya akan terkena imbas dari kebijakan ini.
F. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dan kebijakan public memiliki kaitan erat dan tak terpisahkan. Peran birokrasi dalam pembentukan kebijakan public adalah sebagai perantara atau kendaraan yang mengantarkan masalah-masalah public untuk diolah menjadi kebijakan public sekaligus menjadi pelaksana dan pengawas kebijakan public. Birokrasi memiliki andil dalam setiap tahap penyusunan kebijakan public yang di setiap tahap tersebut akan berbeda-beda peranannya. Paling tidak para birokrasi ini melahirkan suatu kebijakan berlandaskan atas pendekatan yang rasional komprehensif dimana mereka tidak membuka ruang yang lebar untuk inisiasi dari kebijakan kawasan dilarang merokok tersebut.
Untuk itu penulis merasa perlu memberikan tambahan terhadap implementasi dari kebijakan ini bahwa ternyata pembuatan kebijakan ini adalah hasil dari berjalannya fungsi politik yang merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan sekali lagi para aktor lain (masyarakat, LSM, para pengusaha) tidak banyak dilibatkan. Maka dari makalah ini semoga menggugah para aktor untuk terlibat langsung dalam proses revisi kebijakan ini nantinya dan paling tidak sekarang mereka harus memainkan peran pada pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan ini.
TAMBAHAN SUMBER :
Boeree, George. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.
Lele, Gabriel, dkk. 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol UGM; Yogyakarta.