Thursday, April 7, 2011

PERAN KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN DALAM MENGATASI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

PERAN KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN DALAM
MENGATASI KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

Kebijakan Ekonomi Makro dan Kebijakan di Sektor Keuangan di Indonesia
Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1997

Pembangunan ekonomi pada dasarnya berhubungan dengan setiap upaya untuk
mengatasi masalah keterbatasan sumber daya. Di negara-negara sedang berkembang,
keterbatasan sumber daya ini terutama berupa keterbatasan sumber dana untuk investasi
dan keterbatasan devisa, di samping tentunya keterbatasan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Dalam rangka mengatasi keterbatasan sumber daya tersebut, pilihan kebijakan
yang diambil pada umumnya berfokus kepada dua aspek, yaitu aspek penciptaan iklim
berusaha yang kondusif, terutama berupa kestabilan ekonomi makro, dan aspek
pengembangan infrastruktur perekonomian yang mendukung kegiatan ekonomi.
Kestabilan ekonomi makro tercermin pada harga barang dan jasa yang stabil serta
nilai tukar dan suku bunga yang berada pada tingkat yang memungkinkan pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan dengan kondisi neraca pembayaran internasional yang
sehat.
Sementara itu, pengembangan infrastruktur perekonomian mencakup
pengembangan seluruh lembaga pendukung bagi berjalannya aktivitas ekonomi, yaitu
sektor usaha, sektor keuangan/perbankan, perangkat hukum dan peradilan, dan lembaga
pemerintahan/birokrasi yang mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat.
Upaya pemeliharaan kestabilan ekonomi makro berada di dalam lingkup tugas
kebijakan ekonomi makro, yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai
Sementara itu, upaya pengembangan infrastruktur ekonomi berada di dalam
lingkup tugas kebijakan ekonomi mikro, seperti kebijakan di bidang industri,
perdagangan, pasar modal, perbankan, dan sektor keuangan lainnya. Dua di antara
berbagai kebijakan tersebut, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan di bidang perbankan,
saat ini menjadi cakupan tugas Bank Indonesia.
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan ekonomi makro, terdapat
empat kebijakan umum yang diambil selama 4 periode sebelum krisis, yaitu :

 Menerapkan kebijakan fiskal/anggaran berimbang untuk menghindari penggunaan
hutang domestik dalam pembiayaan pengeluaran pemerintah.
 Menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati yang menjaga agar
pertumbuhan likuiditas sesuai dengan pertumbuhan permintaan riil.
 Menjaga agar nilai tukar rupiah selalu berada pada posisi yang realistis. Pada
awalnya ini dilakukan melalui kebijakan devaluasi setiap kali situasi ekonomi
menuntut demikian. Kemudian, kemudian sejak tahun 1986 hal ini dilakukan
melalui penyesuaian sasaran nilai tukar rupiah secara harian yang ditujukan untuk
memelihara daya saing industri-industri berorientasi ekspor dan sekaligus agar
perkembangan nilai tukar rupiah sesuai dengan kondisi permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing.
 Mempertahankan kebijakan lalu lintas modal (devisa) bebas sejak tahun 1971.
Kebijakan ini telah membantu menarik investasi asing dan membuat
perekonomian Indonesia dapat dengan relatif cepat menyesuaikan diri terhadap
perubahan kondisi di pasar internasional.
Berbagai langkah kebijakan tersebut telah mendukung pemeliharaan kondisi
ekonomi makro yang relatif stabil dan predictable selama periode sebelum krisis
ekonomi 1997. Dalam periode tersebut laju inflasi relatif terkendali pada level rata-rata di
bawah 10% per tahun. Defisit transaksi berjalan berada pada tingkat yang dapat
3 Kebijakan Nilai Tukar ini dapat pula dipandang sebagai bagian dari Kebijakan Moneter, akan tetapi sering
lebih tepat dipandang sebagai kebijakan tersendiri.
4 Lihat uraian J. Soedradjad Djiwandono dalam “Macroeconomic Policy: A Foundation for Sustainable
Economic Development”, Kumpulan Pidato dan Makalah Gubernur Bank Indonesia Juli – Desember 1996,
No. 9, 1996, Bank Indonesia, Jakarta.
3
dikendalikan dan jumlah cadangan devisa dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup
untuk membiayai kebutuhan impor rata-rata selama lima bulan. Suku bunga riil dapat
dipertahankan pada tingkat yang selalu positif sehingga mampu mendorong kenaikan
tabungan dan investasi. Selain itu, nilai tukar riil juga berhasil dipertahankan pada level
yang mampu menjaga daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional.
Di sektor keuangan, dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan
investasi, upaya menggerakkan sumber dana domestik dilakukan dengan
mengembangkan infrastruktur sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Hal ini
terlihat sangat jelas kalau kita mengamati perkembangan sektor keuangan di Indonesia
yang sarat dengan rangkaian deregulasi sejak tahun 1983. Praktis kita dapat mengatakan
bahwa proses deregulasi perekonomian yang dilakukan di Indonesia hampir identik
dengan deregulasi sektor keuangan.
Dalam hal ini memang terdapat pertanyaan mengapa deregulasi sektor keuangan
jauh lebih sering dan lebih dahulu dilaksanakan dibandingkan dengan deregulasi di sektor
riil. Terlepas dari adanya perdebatan tentang sequencing dari proses deregulasi ini,
khususnya yang menyangkut apakah sektor keuangan dulu atau sektor riil dulu, yang
jelas diutamakannya deregulasi sektor keuangan merupakan pilihan kebijakan yang
diambil dengan melihat kondisi pada waktu itu.5 Namun, satu hal yang penting untuk
dicatat adalah bahwa penyempurnaan dalam pengaturan dan pengawasan sektor
keuangan, khususnya perbankan, harus menyertai deregulasi. Ini merupakan syarat utama
yang memungkinkan bank-bank dapat berkembang dengan baik serta dapat
memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang disajikan oleh deregulasi dengan
relatif aman
Prioritas yang diberikan oleh berbagai negara, khususnya negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, bagi pelaksanaan deregulasi sektor keuangan selama
dasawarsa 1970an dan 1980an memang dapat dipahami karena perkembangan sektor ini
dalam dasawarsa 1950an dan 1960an di negara-negara tersebut tidak begitu cerah. Hal
ini berkaitan erat dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang diterapkan di negaranegara
berkembang pada periode 1950an dan 1960an yang cenderung mengarahkan
pembangunan ekonomi ke sektor-sektor strategis. Berkaitan dengan itu, kebijakan di
sektor keuangan yang diambil adalah melakukan selective credit policy atau semacamnya
agar dana lebih banyak mengalir ke sektor-sektor ekonomi tersebut. Kebijakan ini
didukung oleh kebijakan suku bunga kredit yang rendah. Berbagai kebijakan itu telah
membatasi keleluasaan sektor keuangan untuk bergerak secara efisien dalam
menyalurkan dana dari pemilik ke pengguna dana.
Sebagai dampak dari terbatasnya ruang gerak sektor keuangan maka terjadilah
apa yang disebut oleh McKinnon dan Shaw sebagai “financial repression” yang
menyebabkan “shallow finance”, yaitu tidak tersalurnya dana (daya beli) secara efisien ke
kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan
ekonomi menjadi terhalang.7
Untuk mengatasi masalah itu, McKinnon dan Shaw menganjurkan agar diadakan
liberalisasi (deregulasi) sehingga terjadi “financial deepening”. Melalui deregulasi, bankbank
dan lembaga-lembaga keuangan lainnya diberi keleluasaan yang lebih besar untuk
beroperasi secara efisien atas dasar mekanisme pasar sehingga mereka dapat berfungsi
dengan baik dan seefisien mungkin dalam menyalurkan dana dari pemilik dana kepada
pengguna dana (pengusaha) untuk keperluan produksi. Mereka berkeyakinan bahwa
ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar merupakan faktor yang sangat penting
untuk dapat menciptakan sistem perekonomian yang efisien dan mencapai laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Strategi deregulasi sektor keuangan itu yang diterapkan di Indonesia, dimulai
secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 1968 –
1970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai
hasilnya, kita melihat betapa sektor perbankan telah berhasil meningkatkan perannya
sebagai media intermediasi dan penyedia jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula
menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa lalu.
Di sisi lain, kita juga melihat bahwa pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini
bukannya tidak menimbulkan permasalahan tersendiri. Di tingkat makro, perkembangan
sektor keuangan yang pesat ini telah menimbulkan permasalahan di sektor moneter. Bagi
pengendalian moneter, perkembangan sektor keuangan yang pesat, yang juga salah
satunya didorong oleh arus globalisasi, telah menyebabkan berbagai hubungan kausalitas
antara besaran-besaran moneter menjadi tidak tetap, yang berimplikasi kepada makin
kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya instrumen moneter yang
ada.8 Kompleksitas permasalahan ini bagaimanapun juga turut mempengaruhi
kemampuan kita dalam merespon setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian.

tambahan sumber : kolumnis.com

No comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan sopan
terimakasih dan semoga bermanfaat!

JUAL PANGKON BREKET STAMPER KUDA MIKASA MTR 80 085710575024

 Pangkon stamper kuda atau dudukan mesin stamper khusus mikasa mtr 80, yang mau modidikasi ganti mesin pake tipe honda gx 160 ataupun sejeni...